Leo F. Buscaglia, begitu namanya. Seorang professor
pendidikan di University of Southren California, di
Amerika. Ia seorang dengan seabreg kegiatan sosial dan
ceramah-ceramah tentang pendidikan. Satu tema yang
terus menerus dibawanya dalam banyak ceramah, adalah
tentang cinta.

"Manusia tidak jatuh 'ke dalam' cinta, dan tidak juga
keluar 'dari cinta'. Tapi manusia tumbuh dan besar
dalam, cinta," begitu katanya dalam sebuah ceramah.

Cinta, di banyak waktu dan peristiwa orang selalu
berbeda mengartikannya. Tak ada yang salah, tapi tak
ada juga yang benar sempurna penafsirannya. Karena
cinta selalu berkembang, ia seperti udara yang mengisi
ruang kosong. Cinta juga seperti air yang mengalir ke
dataran yang lebih rendah.

Tapi ada satu yang bisa kita sepakati bersama tentang
cinta. Bahwa cinta, akan membawa sesuatu menjadi lebih
baik, membawa kita untuk berbuat lebih sempurna.
Mengajarkan pada kita betapa, besar kekuatan yang
dihasilkannya. Cinta membuat dunia yang penat dan
bising ini terasa indah, paling tidak bisa kita
nikmati dengan cinta.

Cinta mengajarkan pada kita, bagaimana caranya harus
berlaku jujur dan berkorban, berjuang dan menerima,
memberi dan mempertahankan. Bandung Bondowoso tak
tanggung-tanggung membangunkan seluruh jin dari
tidurnya dan menegakkan seribu candi untuk
Lorojonggrang seorang. Sakuriang tak kalah dahsyatnya,
diukirnya tanah menjadi sebuah telaga dengan perahu
yang megah dalam semalam demi Dayang Sumbi terkasih
yang ternyata ibu sendiri. Tajmahal yang indah di
India, di setiap jengkal marmer bangunannya terpahat
nama kekasih buah hati sang raja juga terbangun karena
cinta. Bisa jadi, semua kisah besar dunia, berawal
dari cinta.

Cinta adalah kaki-kaki yang melangkah membangun
samudera kebaikan. Cinta adalah tangan-tangan yang
merajut hamparan permadani kasih sayang. Cinta adalah
hati yang selalu berharap dan mewujudkan dunia dan
kehidupan yang lebih baik.

Dan Islam tidak saja mengagungkan cinta tapi
memberikan contoh kongkrit dalam kehidupan. Lewat
kehidupan manusia mulia, Rasulullah tercinta.

Ada sebuah kisah tentang totalitas cinta yang
dicontohkan Allah lewat kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu,
meski langit telah mulai menguning, burung-burung
gurun enggan mengepakkan sayap. Pagi itu, Rasulullah
dengan suara terbata memberikan petuah, "Wahai umatku,
kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta
kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya.
Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur'an.
Barang siapa mencintai sunnahku, berati mencintai aku
dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan
bersama-sama masuk surga bersama aku."

Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata
Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu.
Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar
dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Ustman
menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya
dalam-dalam.

Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba.
"Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati
semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir
usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu
semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap
menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari
mimbar. Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana
pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa.

Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih
tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang
terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan
membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang
berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?"
tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk,
"Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang
membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia
kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membukan
mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai
anakku?"

"Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini
aku melihatnya," tutur Fatimah lembut. Lalu,
Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang
menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak
di kenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan
kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan
di dunia. Dialah malakul maut," kata Rasulullah,
Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya.

Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah
menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian
dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di
atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan
penghulu dunia ini.

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?"
Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.

"Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah
menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti
kedatanganmu," kata jibril. Tapi itu ternyata tak
membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh
kecemasan.

"Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" Tanya
Jibril lagi.

"Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"

"Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah
mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan surga
bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di
dalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan
tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik Tampak seluruh
tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya
menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini."
Lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang
di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril
membuang muka.

"Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu
Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar
wahyu itu.

"Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut
ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar
Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan
lagi. "Ya Allah, dahsyat niat maut ini, timpakan saja
semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku."

Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah
tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak
membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan
telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat
aimanuku, peliharalah shalat dan santuni orang-orang
lemah di antaramu."

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan,
sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan
di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telingan ke
bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.

"Ummatii, ummatii, ummatiii…" Dan, pupuslah kembang
hidup manusia mulia itu. Kini, mampukah kita mencinta
sepertinya?

0 komentar: